Kargo Jepara

Sejarah Penemuan

Initial information about ancient artifacts from Mandalika Island waters, that were first obtained from local fishermen, followed up by PT Adikencana Salvage by submitting a salvage permit.

Keluarnya Surat Keputusan Bupati Jepara No. 185 Tahun 2007 tanggal 9 Juli 2007 kepada PT Adikencana Salvage didasarkan atas surat rekomendasi dari Pannas BMKT pada 28 Juni 2007. Lokasi pengangkatan muatan kapal karam ini terletak di kedalaman 30 mdpl.

Setelah dilakukan analisis dan kajian evaluatif terhadap pengelolaan BMKT di Jepara, terdapat beberapa kesimpulan. Pertama, kegiatan survei dan pengangkatan yang telah dilakukan oleh PT Adikencana Salvage selaku pihak perusahaan pemegang izin telah memenuhi semua ketentuan persyaratan kualifikasi sebagai perusahaan pengangkatan BMKT. Kedua, kegiatan pengangkatan yang dilakukan pada konteks waktu pelaksanaan 2007—2008  telah menyelesaikan tahapan pengangkatan, pemindahan, dan penyimpanan BMKT. Kegiatan tersebut telah dilakukan dengan memenuhi standar minimal kegiatan eksplorasi arkeologi.

Standar ideal prosedur ilmiah penanganan artefak bawah air belum dapat dipenuhi karena pada saat dilakukan pengangkatan BMKT di Perairan Laut Jepara pada kurun waktu 2007-2008, belum terdapat dokumen pedoman kaidah ilmiah mengenai pengangkatan peninggalan arkeologis di bawah air.

Pulau Mandalika merupakan pulau yang terjal dengan pantai batu karang sehingga banyak kapal yang terjebak dan karam di sekitar pulau tersebut.  Tidak jauh dari Pulau Mandalika terdapat Benteng Portugis yang dapat ditempuh sekitar 35 menit dengan  menggunakan perahu wisata atau perahu nelayan (Profil Investasi Kab.Jepara, 2014: 21).

 

Pelayaran di Jepara

Pada abad ke-7 di Jawa terdapat sebuah kerajaan bernama Ho-Ling (Kalingga). Diperkirakan kerajaan Kalingga berada di Jepara dengan ibu kotanya di sekitar Benteng Portugis, di Kecamatan Keling sekarang ini. Pada 618-906 M Kalingga diperintah oleh seorang raja perempuan bernama Ratu Shima. Kerajaannya merupakan kota pelabuhan dan banyak dikunjungi oleh kapal asing dari India, Arab, Tiongkok, dan Kamboja. Pada masa kemudian, Jepara menjadi sangat ramai oleh kesibukan di bidang pelayaran dan perniagaan.

Sesudah itu pusat kerajaan berpindah ke selatan dan bergeser ke Timur (Majapahit). Pada 1292, Jepara yang saat itu dikuasai oleh Sandang Garba seorang raja yang juga pedagang kaya, diserang oleh Dandang Gendis yang menguasai Tuban dan Kahuripan di Delta Sungai Brantas yang sudah maju.

Jepara merupakan pelabuhan besar di pantai utara Jawa yang letaknya aman karena terlindungi oleh beberapa pulau kecil di lepas pantai. Letak pelabuhan Jepara sangat menguntungkan bagi kapal-kapal dagang yang lebih besar dan berlayar lewat pantai utara Jawa menuju Maluku dan kembali ke barat. Saat kejayaan Kesultanan Demak, pelabuhan Jepara merupakan bagian dari wilayah kesultanan yang menjadi tempat tinggal para pedagang dan pelaut. Sebagai kota pelabuhan yang letaknya di teluk yang aman, Jepara lebih disukai daripada Demak.

Pedagang Jepara biasanya membawa beras dari pedalaman Demak dan kain dari Malaka untuk dibawa ke Maluku. Mereka berangkat ke timur dengan menyusuri pantai utara Jawa dengan menyingahi pelabuhan Tuban, Gresik, Surabaya lalu menuju Makassar dan selanjutnya ke Ambon. Mereka menjual barang-barang yang dibeli dari Malaka, Demak, dan Makassar lalu membeli rempah-rempah guna dijual di Malaka dan Jawa. Jepara juga mempunyai hubungan baik dengan Jambi, Bangka, Kalimantan Selatan, dan Tanjungpura (Simpul-simpul Sejarah Maritim, 2003: 62-63).

Menurut, Reid perkapalan di Jawa sangat berkembang pada abad ke-15. Bahkan berita Portugis menyebutkan sekitar tahun 1500 orang Jawa mendominasi perdagangan di perairan Nusantara, termasuk Malaka di sebelah barat dan Maluku di Timur.

Perdagangan pada  masa Dinasti Song

Salah satu kebijakan Dinasti Song adalah menggalakkan perdagangan dengan Asia Tenggara melalui jalan laut karena kepentingan utama  Dinasti Song sangat tergantung pada perdagangan. Pemasukan Dinasti Song melalui perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara mencapai 20 persen dari seluruh pemasukan keuangan dinasti. Sektor perdagangan ini menjadi sumber utama pemasukan kas negara. Oleh karena itu hal yang utama adalah membentuk  Jawatan Urusan Dagang  Pelabuhan (Shi Po Si) yang tugasnya mengurusi perdagangan antarbangsa. Selain itu Dinasti Song juga mengirim utusan ke Asia Tenggara untuk menjalin perdagangan.

Selain dengan Sriwijaya, negeri yang disebut Du Po (Jawa) juga mempunyai hubungan yang erat dengan Dinasti Song. Antara Du Po dan Guangzhou sudah menjalin perdagangan yang mengikuti perubahan angin muson. Pada November dan Desember kapal bertolak dari Guangzhou dengan diantarkan oleh angin utara dan kembali pada Mei dan Juni dengan angin selatan. Perjalanan berlangsung selama satu bulan dan setiap tahun ada tiga sampai enam kapal dagang Tiongkok yang tiba di pelabuhan Banten (Liang Liji, 2012: 83).

Kebijakan Dinasti Song Selatan selama berkuasa mengambil kebijakan baru dalam sistem perniagaan yang disebut dengan perdagangan terbuka. Dengan kebijakaan ini para pedagang Tiongkok diizinkan melakukan perniagaan sendiri ke daerah asing. Menurut Chao Ju-kua pada 1225 para pedagang Tiongkok  telah mengunjungi Jawa untuk melakukan perdagangan (Puspindo, 1990:19).

Muatan Kapal

Sebagian besar benda yang diangkat berupa keramik terdiri atas mangkuk, kendi, koin, dan artefak lainnya.

 

Cepuk merupakan wadah yang terdiri atas dua bagian, yaitu bagian wadah dan tutupnya. Cepuk besar ini berasal dari Dinasti Song (13-14 M).
Kendi Tiongkok berbahan tanah liat dari Dinasti Song (13-14 M). Berlubang kecil dengan hiasan garis tumpal. Berkaki tebal dengan cucuk panjang, terdapat lingkaran cincin pada leher kendi. Diameter bervariasi 12,5 - 19,5 cm; dan tinggi rata-rata 15,5 - 17,5cm.
Mangkuk keramik Tiongkok dari Dinasti Song (13-14 M). Diameter bervariasi 12,5 - 15 cm